Di masa pandemi virus korona (Covid-19), dua srikandi di Jawa Timur, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, justru bersitegang. Di saat membutuhkan kerja sama yang baik antarpimpinan daerah, yang diperlihatkan justru rivalitas. Catatan Medcom.id, cekcok antara Khofifah dan Risma ini terjadi tujuh kali sepanjang pandemi covid-19. Tentu saja hal ini disayangkan karena masyarakat butuh ketenangan di tengah ketegangan akibat wabah.
Berikut perang urat syaraf yang terjadi antara Khofifah dan Risma yang benderang di panggung media:
Penentuan Titik Masuk ke Surabaya
Cekcok pertama terjadi pada 2 April 2020. Saat itu Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menerapkan beberapa poin yang diatur dalam pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Risma menempatkan petugas sterilisasi di 19 titik pintu masuk Surabaya.
Mengetahui hal itu, Khofifah langsung menyindir Risma lantaran Pemkot Surabaya tak berkoordinasi dengan Pemprov Jatim. Komunikasi, kata Khofifah, dianggap penting mengingat Surabaya berbatasan langsung dengan daerah lain seperti Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, dan Kabupaten Bangkalan, Madura. "Seyogyanya pemprov dapat pengajuan PSBB karena layanan kesehatan dan logistik harus terkoordinasi dengan baik. Karena ini bukan urusan sederhana. Sejauh ini belum ada satu pun kota atau kabupaten di Jatim yang mengajukan PSBB atau berkoordinasi dengan pemprov," kata Khofifah.
Mendengar sindiran Khofifah, Risma langsung menarik petugas di 19 pintu masuk Surabaya. Ini dilakukan karena Pemkot Surabaya belum mengajukan status PSBB ke pemerintah pusat maupun provinsi Jatim. "Padahal yang dilakukan di sana bukan PSBB, hanya imbauan dan upaya sterilisasi," kata Koordinator Protokol Komunikasi Gugus Tugas Covid-19 Surabaya, M Fikser.
Penanganan Klaster Covid-19 di Pabrik Rokok
Perbedaan pendapat juga terjadi saat penanganan klaster covid-19 di pabrik rokok PT HM Sampoerna. Khofifah menilai Pemkot Surabaya lamban melaporkan kejadian itu, sehingga klaster penularan covid-19 meluas. "Ini (Pemkot Surabaya) agak terlambat responsnya. Karena pada 14 April (Sampoerna) sudah dilaporkan ke Dinkes Surabaya. Mungkin tidak detail laporannya, jadi tidak langsung ditindaklanjuti," kata Khofifah.
Argumentasi Khofifah pun ditanggapi Pemkot Surabaya melalui Koordinator Protokol Komunikasi Gugus Tugas Covid-19 Surabaya, M Fikser. Ia menyebut anggapan Gubernur Jatim keliru. Fikser juga tak terima dituding lamban, bahkan ia mengklaim Pemkot Surabaya selalu serius dan cepat dalam mendapatkan semua informasi terkait penyebaran covid-19. Termasuk, kasus Covid-19 pada karyawan PT HM Sampoerna Tbk, Rungkut Surabaya. "Bahwa pemerintah kota tidak pernah terlambat. Ibu Gubernur (Jawa Timur) tidak benar," tuding Fikser.
Kisruh Klaster Covid-19 di 2 Mal
Meski sempat mereda, ketegangan antara Khofifah dengan Risma kembali berlanjut. Kali ini, Gugus Tugas Covid-19 Jatim dengan Gugus Tugas Covid-19 Surabaya berbeda pendapat terkait klaster di dua pusat perbelanjaan di Surabaya, yakni Pakuwon Mall dan Tunjungan Plaza (TP).
Ketua Rumpun Tracing Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jatim, Kohar Hari Santoso, mengatakan dua mal itu sebagai klaster penularan covid-19. Hal itu berdasarkan hasil penelusuran yang bermula dari ada seorang tenaga pemasaran atau marketing mal yang diketahui positif covid-19 pada 11 Maret.
Mendengar hal itu, Gugus Tugas Covid-19 Surabaya menampik bahwa Pakuwon Mall dan Tunjungan Plaza merupakan klaster penularan covid-19. Koordinator Bidang Pencegahan Gugus Tugas Covid-19 Surabaya, Febria Rachmanita, menyebut pasien positif yang telah ditemukan di mal itu tidak tertular di tempat tersebut. "Pakuwon Mall saya tidak masukkan di dalam klaster. TP (Tunjungan Plaza) malah enggak. Karena klaster itu pengelompokan berdasarkan sumber penularan, yang dilihat dari hasil kita survei ke lapangan," kata Feny, sapaan akrabnya.
Risma Murka Kedatangan Pasien Luar Daerah
Perseturuan kedua tokoh perempuan itu kembali menanjak. Bermula saat Risma murka lantaran banyaknya pasien positif covid-19 dari luar daerah yang dirawat di Surabaya. Risma mencontohkan di RS Soewandhie yang diklaim dipenuhi pasien dari luar Surabaya. "Kenapa kok diterima terus dari luar? Padahal sudah ada rumah sakit rujukan di Jawa Timur yang sudah ditunjuk. Kan tidak fair kalau kemudian semua dibawa ke Surabaya," kata Risma dengan nada tinggi.
Merespons keluhan Risma, Ketua Rumpun Kuratif Gugus Tugas Covid-19 Jatim, Joni Wahyuhadi, mengatakan bahwa etika kedokteran tidak boleh melarang rumah sakit atau dokter untuk membeda-bedakan pasien berdasarkan suku, ras, agama, dan kedaerahan.
Dirut RSUD Dr Soetomo itu sempat menantang mempertanyakan data Risma yang menyebut bahwa rumah sakit di Surabaya didominasi oleh pasien rujukan dari daerah lain. "Pengalaman kami di Soetomo, 95 persen (pasien yang dirawat) itu ya orang Surabaya. Saya tidak tahu di rumah sakit lain, apakah memang banyak rujukan dari luar? Perlu di-update datanya itu karena di Soetomo tidak berbicara seperti itu," kata Joni.
Tudingan Penelantaran Pasien
Tak hanya itu, kegaduhan semakin gemuruh ketika Pemprov Jatim mengantarkan 35 pasien covid-19 ke RSUD Dr Soetomo. Pemprov gerah karena para pasien itu ditelantarkan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Dr Soetomo tanpa koordinasi dengan pihak RS. Akibatnya, kapasitas RS mendadak ditutup sementara lantaran melebihi kapasitas pasien. Kejadian tersebut membuat Khofifah geram. Tak tanggung-tanggung, Khofifah menyindir jajaran Risma di Pemkot Surabaya untuk menjaga tata krama rujukan pasien.
Keesokan harinya, Pemkot Surabaya membantah tuduhan Pemprov Jatim menelantarkan pasien. Koordinator Komunikasi Gugus Tugas Covid-19 Surabaya, M Fikser, menegaskan tuduhan tersebut tidak benar. Karena yang diantar ke RSUD Sutomo adalah pasien kecelakaan yang berjumlah lima orang.
Surabaya Bisa Semengerikan Wuhan
Bersitegang kembali berlanjut saat Ketua Rumpun Kuratif Gugus Tugas Covid-19 Jatim, Joni Wahyuhadi, menyebut Surabaya bisa seperti Wuhan, Tiongkok, jika penyebaran covid-19 terus meningkat.
Pasalnya, sebanyak 65 persen pasien covid-19 di Jatim berasal dari Surabaya. Sehingga, Joni berharap masyarakat tidak menganggap sepele penyebaran virus korona. "Jadi, masalah covid-19 ini tidak main-main. Kalau kita tidak hati-hati, maka Surabaya bisa seperti Wuhan," kata Joni.
Lagi-lagi pernyataan itu ditanggapi oleh Koordinator Komunikasi Gugus Tugas Covid-19 Surabaya, M Fikser. Ia menyampaikan saat ini Pemkot Surabaya tengah berjuang keras untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19. Fikser tak membantah jika kasus covid-19 terus meningkat, bahkan mendominasi kasus covid-19 di Jatim.
Berbagai upaya pun terus dilakukan, salah satunya Pemkot Surabaya menggelar rapid test dan swab test secara masif dan massal di level bawah. "Tentuya itu mempengaruhi hasil. Ya, kita berusaha untuk tidak terjadi seperti di Wuhan. Siapa yang menginginkan itu. Saya yakin yang menyampaikan juga tidak menginginkan seperti itu," kata Fikser.
Insiden Penempatan 2 Mobil Laboratorium
Perseturuan Khofifah dengan Risma menjadi perbincangan banyak orang di media sosial dan grup aplikasi WhatsApp. Ini setelah beredar video Risma yang murka menuding Pemprov Jatim menyerobot dua mobil laboratorium untuk tes Swab bantuan dari BNPB. Dalam video itu, Risma marah-marah karena Pemkot Surabaya tidak bisa menggunakan mobil itu. Mobil malah dioper ke daerah Kabupaten Lamongan dan Tulungagung.
Risma mengklaim dua mobil laboratorium itu diperbantukan khusus untuk Kota Surabaya. Risma mengaku meminta bantuan mobil itu langsung Ketua Gugus Tugas Covid-19 Pusat, Doni Monardo. Bahkan, Risma juga menunjukkan bukti chat WhatApp antara dirinya dengan Doni. Dalam chat itu, Risma memohon bantuan alat fast lab untuk Kota Surabaya. Doni pun menyanggupinya dan berjanji akan memproses cepat pengirimannya. "Saya ada pesan WhatsApp dengan Pak Doni Monardo kalau itu (mobil) untuk Surabaya. Apa-apan ini Pak? Kalau mau boikot jangan begini caranya," kata Risma dengan nada tinggi dalam cuplikan video tersebut.
Menanggapi hal itu, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim, Suban Wahyudiono, mengaku tidak pernah menyerobot mobil laboratorium tersebut. Justru sejak lama ia telah mengirimkan surat kepada Gugus Tugas Pusat untuk mendapat bantuan alat PCR guna mempercepat pemeriksaan tes swab. Surat permohonan itu dikirim ke Gugus Tugas Pusat pada 11 Mei 2020 lalu.
Setelah mobil tiba di Surabaya pada 27 Mei 2020, mobil langsung difungsikan di RS Universitas Airlangga serta Asrama Haji Sukolilo Surabaya. Kemudian, pada 28 Mei, mobil PCR diarahkan ke Sidoarjo, Kabupaten Lamongan, dan Tulungagung. "Kenapa harus Tulungagung? Karena terkendala kapasitas swab. PDP Tulungagung ini tertinggi kedua di Jatim. Berdasarkan jumlah, dari PDP sebanyak 558 orang, terdapat 172 orang meninggal sebelum sempat di-swab. Begitu kronologinya," jelasnya.
Sementara Risma, lanjut Suban, juga mengirim surat permohonan mobil laborratorium itu ke Pemprov Jatim pada 22 Mei 2020. Harusnya, surat itu diajukan ke pusat, mengingat Pemprov Jatim tidak memiliki mobil laboratorium. Selain salah sasaran, surat permohonan dari Pemkot Surabaya juga keliru dalam penulisan, yakni ditujukan ke BNPB Jatim. Sementara BNPB hanya berpusat di Jakarta, bukan di Jatim.
Hingga saat ini Pemkot bungkam setelah Pemprov Jatim membuka bukti surat permohonan bantuan ke BNPB serta jadwal pengoperasian mobil laboratorium tersebut. Kota Surabaya sendiri telah menggunakan mobil tersebut selama dua hari sejak mobil tiba di Jatim. Saat ini, dua unit mobil tersebut kembali digunakan Pemkot Surabaya, setelah beroperasi di Lamongan, Sidoarjo, dan Tulungagung.
Sumber: Medcom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar