Sederet Regulasi Baru Jokowi, Membangun Otoritarianisme - Bentara Jambi

Jambi Terkini

Carousel

Sederet Regulasi Baru Jokowi, Membangun Otoritarianisme

Regulasi yang dibuat oleh Presiden Joko Widodo kembali menuai kritik masyarakat. Setelah Rancangan Undang-Undang Omnibus Law masih belum dalam tahap pembahasan, pada Februari 2020 lalu Jokowi meneken Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.

Sederet Regulasi Baru Jokowi, Membangun Otoritarianisme

Besarnya efek Virus Corona seakan menelan isu terbitnya PP itu. Baru tiga bulan kemudian, PP ini muncul dan dibahas ke permukaan. Kajiannya mencolok, perubahan regulasi yang dibuat PP itu dinilai membuat presiden terlalu berkuasa atas keputusan mengangkat pegawai negeri sipil. "Padahal meskipun tanpa PP ini, presiden pada dasarnya memiliki kekuatan politik yang sangat powerful, apalagi cuma memindahkan atau memberhentikan PNS," ujar Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, saat dihubungi Tempo, Jumat, 15 Mei 2020.

Feri mengatakan PP ini seakan menjadi lonceng peringatan bagi para PNS, agar tidak boleh melawan atau kritis kepada presiden. Hal ini tertuang pada perubahan yang terjadi di Pasal 3. Terdapat satu ayat baru, yakni ayat (7), dari awalnya yang hanya berisi 6 ayat.

Ayat baru itu berbunyi, Pendelegasian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditarik kembali oleh Presiden dalam hal:
  • Pelanggaran prinsip sistem merit yang dilakukan oleh PPK (penilaian prestasi kerja); atau
  • Untuk meningkatkan efektifitas penyelengaraan pemerintahan.
Adapun di ayat 2, menyatakan bahwa Presiden dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS kepada menteri di kementerian, pimpinan lembaga di lembaga pemerintah non-kementerian, sekretaris jenderal di sekretariat lembaga negara dan lembaga non strutural, gubernur di provinsi, dan bupati/walikota di kabupaten/kota.

Jokowi juga mengubah persyaratan jabatan pimpinan tinggi (JPT) di Pasal 106. Di PP lama, dijelaskan bahwa JPT utama dan JPT madya di bidang rahasia negara, pertahanan, keamanan, pengelolaan aparatur negara, kesekretariatan negara, pengelolaan sumber daya alam, dan bidang lain yang ditetapkan presiden, tak bisa diisi kalangan non-PNS.

Di PP baru, ayat serupa juga ada. Namun terdapat tambahan ayat di bawahnya, yang menyebutkan bahwa ketentuan di pasa (2) itu, dapat dikecualikan sepanjang mendapatkan persetujuan dari Presiden. Presiden bisa memberi izin setelah mendapatkan pertimbangan dari Menteri, Kepala BKN, dan Menteri Keuangan.

Feri Amsari melihat dalam konteks ini, pemerintah seakan mencoba melegalisasi kekuasaannya agar terlihat sangat dominan. Publik terutama PNS, akan mengalami ketakutan untuk melawan pemerintah dengan adanya PP itu. "Saya melihat Pak Jokowi membangun otoritarianisme melalui perundang-perundangan di mana kekuasaannya menjadi terlihat garang," kata Feri.

Namun Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto mengatakan PP baru itu dibuat untuk memperbaiki kinerja ASN ke depan. Ia mengatakan PP ini dibuat agar pelanggar sistem merit semakin diminimalisir. "Perubahan yang dilakukan akan memperkuat penerapan sistem merit. Selama ini masih ada beberapa kepala daerah yang melanggar sistem merit dalam promosi ASN," kata Agus saat dihubungi Tempo, Ahad, 17 Mei 2020.

Meski begitu, Feri tetap berpendapat PP ini masih tak ada urgensinya. Jokowi seakan bertentangan dengan semangat yang digadang-gadang untuk menyederhanakan aturan. Ini malah menambah aturan dan kontroversial.

Terlebih, Feri mengatakan PP ini seakan menegaskan upaya pemerintah untuk membangun otoritariansime di Indonesia. Ia menilai jika diperhatikan, sudah banyak Undang-Undang yang ditujukan untuk membuat Presiden tak tertandingi.

Pusako mencatat, setidaknya ada empat regulasi otoritarian lain yang diupayakan pemerintah untuk lolos. Yang pertama, adalah RUU Omnibus Law yang saat ini pembahasannya masih tertunda di DPR. Feri mengatakan RUU ini mengatur 400 hal lebih dengan PP semata. Termasuk Undang-Undang Minerba yang baru saja disahkan oleh DPR.

Ada ada pula Perpu nomor 2 tentang penundaan Pilkada, yang menurut Feri membuat pemerintah menentukan proses penyelenggaraan pemilu, selain DPR dan Komisi Pemilihan Umum. Penentuan proses penyelenggaran pemilu kepala daerah seharusnya diserahkan kepada KPU. “Pemerintah bolehlah memberikan saran, tapi tidak boleh ikut menentukan," kata dia.

Feri menyoroti Perpu nomor 1 tahun 2020, tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Disease-2019 (Covid-19). Di tengah masalah pandemi yang tengah menggerogoti Indonesia, Feri menyesalkan regulasi yang dibuat justru sekaligus melanggengkan dominasi pemerintah Jokowi atas rakyat.

Perpu nomor 1 tahun 2020 itu dinilainya terlalu meletakkan pengaturan postur anggaran ke dalam Perpres. Perpu 1 juga memberikan hak kekebalan hukum bagi pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). "Ketentuan mengenai postur anggaran harusnya tidak diatur pemerintah sendiri, apalagi penentuan seluruh anggaran," kata dia.

Sumber: Tempo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Breaking News