Jakarta - Lagi-lagi agenda Pilkada yang rencananya digulirkan 9 Desember 2020 ditentang. Dengan alasan kontra produktif dengan upaya semua pihak menekan penularan wabah Virus Corona (Covid-19).
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyarankan agar tahapan Pemilihan kepala daerah serentak 2020 baru dimulai kembali setelah Indonesia melewati fase puncak Covid-19. ”Harapannya tindakan kontra produktif ketika saat ini kita sedang berupaya menekan penularan Covid-19, sebaiknya penyelenggaraan dimulai kembali setelah Covid-19 mereda,” kata Titi Anggraini, Selasa (28/4).
Kondisi ini pun, sambung dia, mengingat perkembangan pandemi ini menurut dia Pilkada memang kecil kemungkinannya digelar ketika kasus Covid-19 tersebut benar-benar tuntas atau dengan nol kasus. ”Ya, selama vaksin belum tersedia mungkin saja pandemi ini belum berakhir, kita tetap menggelar Pilkada dimasa pandemi tetapi mestinya setelah kasus melandai, sebab pilkada ini melibatkan interaksi banyak orang,” kata dia.
Selain itu, penyesuaian mekanisme penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi menurut Titi juga membutuhkan waktu karena banyak hal yang pasti akan berubah mengikuti protokol kesehatan. ”Dan tentu biaya sangat mahal mengingat kita mengutamakan kesehatan dalam penyelenggaraan, ada yang harus disediakan antiseptik, alat pelindung diri, bagaimana menjamin setiap tahapan benar-benar aman dari Covid-19,” katanya.
Persoalan penting lainnya dalam memutuskan penyelenggaraan pemilu di tengah pandemi kata dia adalah terkait budaya masyarakat. ”Kalau masyarakatnya belum terbiasa dengan budaya menjaga kesehatan, rendahnya komitmen untuk mencegah penularan, ini kan kontra produktif kalau tahapan sudah dimulai lagi sebelum atau pada masa puncak pandemi, bisa-bisa kasus positif akan melonjak tinggi,” paparnya.
Memang menurut dia beberapa negara salah satunya Korea Selatan berhasil menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi, namun negara tersebut baik sistem, kebijakan termasuk budaya penduduknya benar-benar memiliki kesiapan.
”Nah kita juga membutuhkan waktu untuk mempersiapkannya, makanya kalau kami berpandangan pilkada sebaiknya digelar pada 2021, jadi pemerintah dan penyelenggara punya waktu mempersiapkan dan kita sudah melewati fase puncak,” jelasnya.
Namun jika sesuai kesepakatan penyelenggara, pemerintah dan DPR yang akan menggelar hari pemilihan pada Desember 2020 maka diprediksi waktunya cukup sempit, terlalu dekat dengan puncak pandemi atau bahkan kemungkinan tahapan sudah dimulai lagi di sekitar fase puncak.
Pengamat Hukum dan Tata Negara Yusdiyanto Alam menambahkan kesepakatan antara penyelenggara pemilu, pemerintah dan DPR untuk menyelenggarakan hari Pemilihan kepala daerah pada Desember 2020 harus dipertimbangkan lagi. Fokus anggaran lebih baik dialihkan untuk pengentasan pengangguran dan bencana wabah Virus Corona di daerah masing-masing. ”Sisi kemanusiaanlah yang diutamakan. Saat ini jangan pula mengedepankan Pilkada tapi hal paling krusial diabaikan,” timpalnya.
Semua pihak, sambung dia, tengah menghitung kapan puncak pandemi dan apakah dalam beberapa bulan ke depan apa benar-benar sudah melewati masa krisis dari Covid-19. ”Atau sebaliknya ada gelombang kedua,” imbuh Yusdiyanto.
Menurut dia, jika hari pemilihan digelar pada Desember 2020 artinya tahapan yang terhenti sudah harus dimulai kembali pada Juni atau menunda selama 3 bulan, sementara saat ini kondisi pandemi masih menunjukkan tren kenaikan kasus positif. ”Memulai tahapan pada saat masa krisis bahkan ketika belum mencapai fase puncak pandemi Covid-19 menurut saya akan sangat berisiko untuk keselamatan baik penyelenggara, peserta pilkada maupun masyarakat,” jelasnya.
Hal itu, kata Yusdiyanto karena pada beberapa tahapan pilkada akan melibatkan interaksi tatap muka banyak orang, semakin banyak interaksi sosial dalam tahapan pemilu tentunya akan meningkatkan risiko penularan. Kemudian, memulai tahapan tergesa-gesa juga berpotensi akan membuat ketidaksiapan sistem dan metode penyelenggaraan yang tepat untuk dipakai pada masa pandemi.
”Penting sekali mengkaji mekanisme, metode dan sistem seperti apa yang tepat kalau menyelenggarakan pemilu ketika pandemi, semuanya tentu harus diselaraskan dengan protokol kesehatan,” katanya.
Tidak hanya metode penyelenggaraan pilkada, penyelenggara tentunya juga perlu memikirkan kesiapan anggaran apalagi biaya pilkada diyakini akan membengkak karena harus menyediakan standar keamanan kesehatan dari risiko penularan Covid-19.
”Seperti yang kita tahu, pemerintah tentu anggarannya fokus penanganan Covid-19. Oleh karena itu, apakah cukup hanya menunda 3 bulan, menurut saya sebaiknya pilkada pada pertengahan atau akhir 2021 saja, sehingga penyelenggara bisa memikirkan metode terbaik dan pemerintah tidak terbebani anggarannya,” jelasnya. (ful/fin)
Sumber: Jambi Update
Tidak ada komentar:
Posting Komentar