Banyak sekali pengusaha yang mengaku sebagai pengusaha Muslim. Tetapi ketika gagal dalam bisnisnya, mereka menjustifikasi kegagalan itu dengan alasan bahwa dunia ini hanya hiasan semata, dunia hanya sementara, uang tidak dibawa mati, dan alasan lainnya. Masjid pun menjadi sekadar tempat “persembunyian” ketika mereka gagal memenuhi value of prosperity (Al Qimah Al Madiyyah). Bahkan secara masif telah terjadi pemahaman yang keliru tentang uang dan harta.
Pemahaman seperti ini terjadi karena kebanyakan doktrin yang kita terima sejak kecil bersifat negatif. Contoh doktrin negatif tersebut adalah uang itu kotor, orang kaya itu sombong, uang merusak persahabatan dan persaudaraan, serta kata-kata yang paling favorit: uang adalah akar masalah. Dengan kondisi pemahaman seperti ini, wajar saja banyak di antara saudara kita -kaum Muslimin -mengesampingkan value of prosperity ini, dan hanya nyaman ketika mereka bersentuhan dengan nilai kemanusiaan (Al Qimah Al Insaniyyah), nilai etik (Al Qimah Al Akhlaqiyyah), dan terutama nilai spiritual (Al Qimah Al Ruhiyyah).
Padahal jika kita menganalisa hukum syara’-yang memerintah kita melakukan perbuatan tertentu- kita akan menemukan bahwa harus ada keseimbangan dalam mengusahakan keempat nilai-nilai di atas. Islam tidak mengajarkan kita fokus hanya pada nilai ruhiyyah dan melupakan nilai-nilai yang lain, demikian juga sebaliknya. Masalahnya bukan kita tidak boleh fokus ke nilai ruhiyyah, tetapi kita juga harus ingat ada nilai-nilai lain yang juga harus kita usahakan dalam hidup, termasuk value of prosperity (Al Qimah Al Madiyyah).
Value of prosperity adalah sesuatu yang kita usahakan berhubungan dengan materi. Misalnya, uang, tabungan, rumah, kendaraan, dan hal yang berbentuk benda atau materi. Allah telah memerintahkan kita untuk memenuhi value of prosperity. Sebagai contoh, ketika Allah memerintahkan jual beli, bekerja, ataupun membentuk syirkah (kerja sama usaha, seperti syirkah mudharabah, syirkah abdan, dll) sebenarnya bertujuan merealisasikan value of prosperity. Al Qimah Al Madiyyah ini erat kaitannya dengan ketiga nilai yang lain. Misalnya dengan uang, kita bisa pergi haji, membayar zakat, bersedekah, membantu orang yang dalam kesusahan, memberikan pendidikan yang baik kepada anak kita, dan banyak amal shalih lain yang bisa dilakukan dengan uang.
Jika uang beredar di tangan orang orang yang shalih maka tidak mungkin mereka membuat bisnis yang melanggar syara’ seperti judi online, bisnis esek-esek, dugem, dan aktivitas bisnis lainnya yang dimurkai oleh Allah. Uang dimanfatkan di jalan Allah. Mari kita flash back ke 1.400 tahun yang lalu, ketika dakwah Rasul didukung oleh para pengusaha seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Abdurrahman bin Auf, banyak yang sudah mereka lakukan dengan harta mereka untuk tegaknya Islam di muka bumi ini. Para sahabat Rasul yang juga pengusaha ini telah menorehkan tinta emas dalam sejarah kegemilangan Islam
Kali ini, kami akan membahas sosok sahabat Ustman bin Affan. Sahabat Ustman bin Affan adalah salah satu sosok nyata yang menyeimbangkan antara value of prosperity dan kesederhanaan. Ustman Bin Affan adalah pengusaha besar di zaman Rasulullah. Meskipun kaya raya, beliau hidup dengan sederhana dan sangat dermawan sehingga beliau dijuluki sebagai Bapak Zuhud.
Berikut ini adalah mengelola bisnis ala Utsman bin Affan RA:
Pemahaman seperti ini terjadi karena kebanyakan doktrin yang kita terima sejak kecil bersifat negatif. Contoh doktrin negatif tersebut adalah uang itu kotor, orang kaya itu sombong, uang merusak persahabatan dan persaudaraan, serta kata-kata yang paling favorit: uang adalah akar masalah. Dengan kondisi pemahaman seperti ini, wajar saja banyak di antara saudara kita -kaum Muslimin -mengesampingkan value of prosperity ini, dan hanya nyaman ketika mereka bersentuhan dengan nilai kemanusiaan (Al Qimah Al Insaniyyah), nilai etik (Al Qimah Al Akhlaqiyyah), dan terutama nilai spiritual (Al Qimah Al Ruhiyyah).
Padahal jika kita menganalisa hukum syara’-yang memerintah kita melakukan perbuatan tertentu- kita akan menemukan bahwa harus ada keseimbangan dalam mengusahakan keempat nilai-nilai di atas. Islam tidak mengajarkan kita fokus hanya pada nilai ruhiyyah dan melupakan nilai-nilai yang lain, demikian juga sebaliknya. Masalahnya bukan kita tidak boleh fokus ke nilai ruhiyyah, tetapi kita juga harus ingat ada nilai-nilai lain yang juga harus kita usahakan dalam hidup, termasuk value of prosperity (Al Qimah Al Madiyyah).
Value of prosperity adalah sesuatu yang kita usahakan berhubungan dengan materi. Misalnya, uang, tabungan, rumah, kendaraan, dan hal yang berbentuk benda atau materi. Allah telah memerintahkan kita untuk memenuhi value of prosperity. Sebagai contoh, ketika Allah memerintahkan jual beli, bekerja, ataupun membentuk syirkah (kerja sama usaha, seperti syirkah mudharabah, syirkah abdan, dll) sebenarnya bertujuan merealisasikan value of prosperity. Al Qimah Al Madiyyah ini erat kaitannya dengan ketiga nilai yang lain. Misalnya dengan uang, kita bisa pergi haji, membayar zakat, bersedekah, membantu orang yang dalam kesusahan, memberikan pendidikan yang baik kepada anak kita, dan banyak amal shalih lain yang bisa dilakukan dengan uang.
Jika uang beredar di tangan orang orang yang shalih maka tidak mungkin mereka membuat bisnis yang melanggar syara’ seperti judi online, bisnis esek-esek, dugem, dan aktivitas bisnis lainnya yang dimurkai oleh Allah. Uang dimanfatkan di jalan Allah. Mari kita flash back ke 1.400 tahun yang lalu, ketika dakwah Rasul didukung oleh para pengusaha seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Abdurrahman bin Auf, banyak yang sudah mereka lakukan dengan harta mereka untuk tegaknya Islam di muka bumi ini. Para sahabat Rasul yang juga pengusaha ini telah menorehkan tinta emas dalam sejarah kegemilangan Islam
Kali ini, kami akan membahas sosok sahabat Ustman bin Affan. Sahabat Ustman bin Affan adalah salah satu sosok nyata yang menyeimbangkan antara value of prosperity dan kesederhanaan. Ustman Bin Affan adalah pengusaha besar di zaman Rasulullah. Meskipun kaya raya, beliau hidup dengan sederhana dan sangat dermawan sehingga beliau dijuluki sebagai Bapak Zuhud.
Berikut ini adalah mengelola bisnis ala Utsman bin Affan RA:
1.Terjun langsung mengelola bisnisnya
Apa hikmah yang diperoleh dengan memilih terjun langsung dalam mengelola bisnisnya seperti yang dilakukan khalifah Utsman? Dengan terjun langsung untuk mengelola bisnis, ada keuntungan yang diperoleh dibanding dengan yang langsung membayar jasa orang sejak awal membangun bisnis. Pengalaman eksekusi langsung setiap aspeknya, akan membuat pemilik bisnis lebih mudah memahami masalah kecil yang muncul saat sudah punya karyawan.
2.Mengembangkan bisnis dengan ‘rumus sepertiga’
Supaya bisnis bertahan lama, pembagian keuntungannya dibagi 3: sepertiga untuk dinikmati, sepertiga bisa digunakan untuk diputar lagi sebagai modal, dan sepertiganya untuk sedekah.
3.Tidak meremehkan keuntungan walau sedikit
Memang tidak ada batasan untuk mengambil keuntungan besar dalam sebuah usaha. Namun, ada kalanya keuntungan yang diperoleh adalah jumlah yang belum seberapa. Tapi seperti yang dicontohkan Utsman Bin Affan, beliau tidak meremehkan keuntungan sekecil apapun. Tetap bersyukurlah karena masih mendapatkan keuntungan dan bukan kerugian.
4.Tidak membeli stok barang lama
Demi kualitas layanan yang terbaik, alangkah baiknya tidak membeli stok barang lama. Selain berisiko cepat rusak atau basi, konsumen juga cenderung lebih suka mencari produk yang baru. Jadi alangkah baiknya untuk memiliki stok barang baru, daripada yang lama.
5.Menjadikan satu modal menjadi dua modal
Apa artinya “satu modal menjadi dua modal”? Coba kita jelaskan denga ilustrasi seperti ini. Katakanlah misal Anda punya 1 kg beras merah yang biasanya dijual Rp 20.000. 1 kg beras merah tersebut bisa Anda bagi 2, yaitu masing-masing setengah kg. Setiap setengah kg bisa dijual dengan harga 12.000 (atau selisih 2000 dari ‘harga normal’).
Angka tersebut akan menghasilkan keuntungan lebih tinggi. Dengan cara begini, konsumen yang dilayani pun lebih banyak. Ini bisa menjadi alternatif bagi kita jika memutuskan untuk berdagang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar